Sabtu, 19 Oktober 2013

PROFIL GURU PAI IDEAL

Oleh : Asep Rahmatudin



Guru merupakan figur sentral dalam proses pendidikan yang berlangsung di sekolah. Karena itu, profesionalisme guru merupakan faktor yang dominan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sudut pandang nilai budaya Indonesia (Sunda), guru profesional adalah seorang pendidik yang memiliki “komara” atau willpower atau determinasi (strength of will, strength of mind, self control, dan self discipline) yang sangat tinggi, sehingga dipatuhi (digugu) perkataannya dan diikuti (ditiru) perilakunya.[1]
Dua kemampuan (ability) mendasar yang harus dimiliki guru pada era globalisasi dewasa ini. Pertama, kemampuan memanfaatkan teknologi sebagai media dan sumber pembelajaran. Misalnya penguasaan berbagai program aplikasi komputer dan internet untuk pembelajaran. Kedua, kemampuan mentransfer nilai-nilai kehidupan (living values) kepada semua peserta didik. Dalam hal ini guru harus mengembangkan dan mempromosikan soft skill bagi peserta didik, yang meliputi nilai-nilai : kejujuran, penghargaan, sikap toleran, kemampuan mendengar, empati, kerja sama, sopan santun dalam  berperilaku, disiplin, dan kontrol diri.[2]
Menurut E Mulyasa, tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas sekedar penyampaian informasi (transfer of information), tetapi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman, guru harus memiliki kemampuan untuk memahami peserta didik dengan berbagai keunikannya, sehingga mampu membantu mengatasi kesulitan peserta didik.[3] Sedangkan Amir Tengku Ramly mengatakan bahwa guru harus memahami perilaku belajar peserta didik secara personal. Perilaku belajar peserta didik tersebut secara garis besar dikelompokkan pada empat kategori, yaitu sanguinis, phlegmatis, melankolis, dan korelis. [4]
Pemahaman terhadap perilaku belajar peserta didik akan memeberikan kekuatan tersendiri bagi guru  dan kesan yang mendalam bagi peserta didik. Sehingga pembelajaran dirasakan penuh makna (meaningfull learning) dan menyenangkan.  Pembelajaran yang menyenangkan akan memberikan dampak terhadap perubahan perilaku peserta didik. Hal ini didasarkan pada teori Skinner yang menyebutkan bahwa perilaku berubah sesuai dengan konsekuensi-konsekuensi langsung dari perilaku tersebut. Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah perilaku .[5]
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.[6] Dengan empat kompetensi tersebut, guru diharapkan mampu menjadi perencana (designer), pelaksana (implementer), dan penilai (evaluator) pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan.[7] Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi guru (teacher competency) itu sendiri menurut Barlow (1985) dalam Muhibbinsyah, adalah the ability of a teacher to responsibly perform his or her duties appropriately. Artinya, kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.[8]
Keberhasilan guru sebagai pengembang sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh faktor kepribadian guru itu sendiri. Menurut Muhibbinsyah, ada dua karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru, yaitu fleksibilitas kognitif guru dan keterbukaan psikologis pribadi guru.[9] Guru yang memiliki fleksibilitas kognitif pada umumnya ditandai dengan keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Sedangkan guru yang memiliki keterbukaan psikologis ditandai dengan kesediaan yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern antara lain peserta didik, teman sejawat, dan lingkungan tempatnya bekerja.
Guru yang baik adalah guru yang mampu menjadi inspiring teaching, yaitu guru yang mampu menumbuhkembangkan inspirasi, gagasan, dan keinginann besar peserta didiknya. Sudah barang tentu kemampuan ini tidak datang dengan sendirinya, guru dituntut untuk menyisihkan waktu dan dana bagi pengembangan kompetensi keguruannya. Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru, diantaranya adalah dengan mengikuti program penataran atau kursus-kursus (in-service training), pengembangan secara mandiri (self development), kegiatan-kegiatan ilmiah, program pendekatan terapan, program diversifikasi keaktaan, dan pendidikan lanjutan.[10] Namun harus diingat bahwa keberhasilan upaya pengembangan kompetensi guru tersebut sangat tergantung pada sejauh mana jiwa dan semangat guru untuk mengembangkan diri (self propelling growth).
Guru yang aktif, kreatif, dan penuh inisiatif (gourmet omnivore) dalam merespons terhadap lingkungan sosial dan fisik yang mengelilinginya cenderung memiliki konsep diri (self concept) yang positif dibandingkan dengan guru yang pasif (passive consumer) dan ragu atau segan (reticent consumer). Guru yang memiliki konsep diri positif akan mempunyai integritas diri (self integrated) yang tinggi, sehingga memiliki dampak yang positif terhadap aktivitas pembelajaran, baik menyangkut konten akademik maupun keterampilan sosial.[11]
Dalam psikologi, istilah self memiliki dua arti, yaitu sebagai objek dan subjek. Sebagai objek, self memiliki makna sikap dan prasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Sedangkan sebagai subjek, self memiliki makna suatu keseluruhan psikologis yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian diri[12]. Adapun dasar atau komponen self terdiri dari material self, social self, spiritual self, dan pure ego. Karena itu, Muhibbinsyah mendefinisikan konsep diri (self-concept) sebagai totalitas sikap dan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri.[13]
Menurut Rogers, self concepf seseorang akan berpengaruh terhadap cara-cara orang tersebut bertingkah laku. Karena itu, untuk mengubah perilaku seseorang harus dimulai dari upaya mengubah konsepsi dia tentang dirinya. Sedangkan Symond membatasi pemahaman tentang diri (self) pada empat aspek, yaitu; (1) Bagaimana orang mengamati dirinya sendiri; (2) Bagaimana orang berpikir tentang dirinya sendiri; (3) Bagaimana orang menilai dirinya sendiri; dan (4) Bagaimana orang berusaha dengan berbagai cara untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri.[14]
Melihat jabatan dan kewajibannya, guru PAI merupakan manusia dewasa yang memiliki tanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik dalam mencapai kedewasaannya.  Karena itu, konsep diri guru PAI harus mencerminkan pribadi manusia dewasa yang patut digugu dan ditiru oleh peserta didik. Menurut Abdullah Munir, guru yang ideal harus “tetap lembut” dan “selalu brilian”. Kelembutan merupakan cermin dari cinta dan kasih sayang, sedangkan brilian merupakan cermin dari kreativitas, profesionalisme, dan progresivitas. Adapun kata “tetap” dan “selalu” menggambarkan sikap istiqamah yang akan melahirkan harmoni dan totalitas yang luar biasa.[15]  Dalam era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, guru PAI harus memperkuat atau menata ulang konsep dirinya. Apalagi dunia pendidikan yang digelutinya merupakan dunia yang dinamis dan membutuhkan update hal-hal baru secara terus menerus.
Untuk mengantisipasi berbagai fenomena penyimpangan perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dan mensiasati keterbatasan alokasi jam pelajaran agama di sekolah, guru PAI dituntut untuk membekali diri dengan lima kompetensi. Empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang termaktub dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sedangkan satu kompetensi lagi, yaitu kompetensi “kepemimpinan” terdapat dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah.
Berdasarkan Permenag No. 16 Tahun 2005 tersebut, dengan kompetensi kepemimpinan yang dimilikinya, guru PAI diharapkan : (1) Mampu membuat perencanaan pembudayaan pengamalan ajaran agama dan perilaku akhlak mulia pada komunitas sekolah sebagai bagian dari proses pembelajaran agama; (2) Mampu mengorganisasikan potensi unsur sekolah secara sistematis untuk mendukung pembudayaan pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah; (3) Mampu menjadi innovator, motivator, fasilitator, pembimbing dan konselor dalam pembudayaan pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah; dan (4) Mampu menjaga, mengendalikan, dan mengarahkan pembudayaan pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah dengan menjaga keharmonisan hubungan antar pemeluk agama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[16]
Penjabaran kompetensi kepemimpinan sebagaimana tertuang dalam PMA No. 16 Tahun 2010, mendorong guru PAI untuk menjadi pemimpin (leader) di sekolah, baik secara formal maupun informal. Guru PAI harus mampu membuat program pengembangan pendidikan agama dan menggerakkan seluruh potensi sekolah untuk mendukung program tersebut dengan tetap memperhatikan keragaman hidup beragama (tasamuh/toleransi). Sehingga tercipta sebuah lingkungan sekolah berbudaya agama (religious culture) yang dapat menunjang keberhasilan pembelajaran agama di sekolah.
Kompetensi kepemimpinan yang harus dimiliki oleh guru PAI akan efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan, jika guru PAI membekali diri dengan kompetensi kepribadian yang memadai.  Berdasarkan Peraturan Pemerintah No, 74 Tahun 2008 tentang Guru, kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang (a) beriman dan bertakwa, (b) berakhlak mulia, (c) arif dan bijaksana, (d) demokratis, (e) mantap, (e) berwibawa, (f) stabil, (g) dewasa, (h) jujur, (i) sportif, (j) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (k) secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan (l) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.[17]
Jika melihat rentang usia peserta didik jenjang SMP, kepribadian guru PAI sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran agama Islam dan pembentukan pribadi peserta didik. Hal ini didasari dengan asumsi bahwa  pada fase ini peserta didik akan memasuki masa puber yang ditandai dengan  kematangan alat-alat reproduksi. Kematangan alat-alat reproduksi tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku peserta didik. Di samping itu, kondisi sosial pun sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku peserta didik. Jika mereka mendapatkan respon positif dari lingkungan sosialnya, baik dari orang tua, kakak, adik, guru, maupun teman-temannya, maka kondisi sosial tersebut sangat dominan dalam membentuk sikap dan perilakunya. Namun sebaliknya, jika respon dari lingkungan sosialnya negatif, maka perubahan-perubahan fisik akan  berdampak sangat besar terhadap perkembangan psikologisnya.[18] Fase ini sering juga disebut sebagai masa panca roba dan pencarian jati diri (nilai). Karena itu, komunikasi edukatif antara peserta didik, orang tua, guru, dan teman-teman sebayanya memegang peran penting dalam pembentukan sikap dan perilaku mereka.
Menurut Amir Tengku Ramly, guru akan mampu mengembangkan kepribadian menjadi lebih baik, jika dia mau mengubah paradigma dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, dari to have menjadi to be atau dari teaching menjadi learning.[19] Paradigma to have (memiliki) merupakan sebuah gagasan atau pola pikir seseorang yang cenderung dan mengutamakan kebutuhan materi. Sedangkan paradigm to be (menjadi) merupakan gagasan atau pola pikir yang cenderung pada nilai-nilai non materi. Kemudian perubahan kata dari teaching menjadi learning sungguh sangat dalam maknanya. Dengan menggunakan istilah learning, guru memiliki kesempatan lebih untuk memberdayakan diri dan lingkungan belajarnya. Learning itu sendiri dapat diartikan sebagai proses perbaikan diri secara terus menerus (countinous improvement) dari suatu individu. Sehingga dengan paradigma ini guru akan terbuka terhadap masukan baru, mencari solusi terbaik dari suatu permasalahan, memiliki mindset colaboration, belajar dari kesalahan, siap menghadapi resiko, mempunyai daya respon yang cukup besar, dorongan untuk saling memiliki, terbuka terhadap perubahan, dan visioner. 


[1]Dodi Nandika, Pendidikan di Tengah Perubahan, (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2007), cet. ke-1, hlm. 62
[2]Deni  Koswara dan Halimah, Seluk Beluk Profesi Guru, (Bandung : Pribumi Mekar, 2008), cet. ke-1, hlm 135.
[3]E Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), cet. ke-10, hlm. 21.
[4]Amir Tengku Ramly, Menjadi Guru Idola Mengajar dari Kedalaman Cinta, (Bekasi : Pustaka Inti, 2007), cet. ke-3, hlm. 68
[5]Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010), cet. ke-2, hlm. 39-40
[6]Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 8
[7]E Mulyasa, Menjadi , hlm. 14.
[8]Muhibbinsyah, Psikologi , hlm. 228.
[9]Ibid., hlm. 225-228
[10]Amir Tengku Ramly, Menjadi , hlm. 71-75.
[11]Bruce Joyce, et.al., Models of Teaching, terj.  Ahmad Fawaid dan Ateila, Model-Model Pengajaran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), cet. ke-2, hlm. 388-397.
[12]Sumadi Suryabrata, Psikologi, hlm. 248
[13]Muhibbinsyah, Psikologi Belajar, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), ed. Revisi, hlm. 21
[14]Sumadi Suryabrata, Psikologi, hlm. 248-250
[15]Abdullah Munir, Spiritual Teaching : Agar Guru Semakin Mencintai Pekerjaan dan Anak Didiknya, (Yogyakarta : PT Pustaka Insan Madani, 2006), cet. ke-1, hlm. 121.
[16]PMA No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah
[17]PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, pasal 3 ayat 5
[18]Elizabeth B Hurlock, Development Psychology A Kife-Span Approach, terj. Istiwidayanti & Soedjarwo, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 191-192.
[19]Amir Tengku Ramly, Menjadi Guru Kaya : Melalui Perubahan Paradigma To Be Quadran, (Bekasi : Pustaka Inti, 2005), cet. ke-2, hlm. 9

SCIENTIFIC APPROACH

Pergantian Kurikulum KTSP 2006 menjadi KTSP 2013 memunculkan istilah baru yang hangat dibicarakan di kalangan guru, yaitu istilah Scientific Approach. Apa, mengapa, dan bagaimana scientific approach diterapkan dalam pembelajaran? 

Kamis, 29 Desember 2011

MODIFIKASI MODEL SNOWBALL THROWING DAN NUMBERED HEAD TOGETHER DALAM PEMBELAJARAN PAI PADA MATERI ADAB MAKAN DAN MINUM



Oleh : Asep Rahmatudin

SKENARIO PEMBELAJARAN

Model pembelajaran “Snowball Throwing” merupakan teknik pembelajaran aktif, kreatif, inovatif, dan menantang peserta didik untuk berpikir. Sedangkan model NHT merupakan varian dari model pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi peserta didik. Empat fase yang harus diperhatikan guru dalam menggunakan model NHT, yaitu penomoran, mengajukan pertanyaan, berpikir bersama, dan menjawab pertanyaan. Adapun modifikasi yang dilakukan oleh penulis terletak pada tata cara pembuatan pertanyaan dan pembahasannya.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
12. Membiasakan perilaku terpuji

12.1  Menjelaskan adab makan dan minum;
12.2  Menampilkan contoh adab makan dan minum.

Langkah-Langkah Pembelajaran (Syntax)
1.         Kegiatan Awal
a.        Orientasi
Orientasi dilakukan untuk memusatkan perhatian peserta didik pada materi yang akan dipelajari, diantaranya dapat dilakukan dengan cara :
1)   Mengucapkan salam ketika masuk kelas dengan tampilan prima, segar, dan ceria, kemudian  menyapa peserta didik dengan ramah dan menyenangkan;
2)     Meminta kerjasama mereka, karena menarik tidaknya pelajaran hari ini tergantung bagimana cara  mereka merespons suasana kelas hari ini;
3)        Meminta mereka berdoa dan membaca Al-Fatihah sejenak.
b.        Appersepsi
Appersepsi dilakukan dengan menampilkan photo-photo acara resepsi pernikahan yang ditayangkan melalui program aplikasi microsoft office power point. Kemudian setelah tayangan selesai guru mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pree test.
c.         Motivasi
Motivasi dilakukan untuk memberikan gambaran tata cara makan dan minum yang dicontohkan Rasulullah SAW, sehingga dilihat dari tata cara makannya saja, ummat Islam pantas disebut sebagai ummat yang beradab.
2.         Kegiatan Inti
  •  Sebelum menyampaikan materi, guru memberikan petunjuk tentang kegiatan apa saja yang akan dilakukan, dan arti penting materi adab makan dan minum bagi kehidupan, pastikan agar peserta didik tidak melewatkannya 
  • Guru menyampaikan SK dan KD terkait dengan materi adab makan dan minum; 
  • Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi yang harus dibahas oleh kelompoknya; 
  • Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya; 
  • Kemudian masing-masing peserta didik diberi satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi adab makan dan minum sesuai dengan penjelasan ketua kelompok;  
  • Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu orang kepada yang lainnya secara acak (point a s.d. f  : syntax Snowball Throwing);  
  • Setelah seluruh peserta didik memegang bola kertas, guru meminta mereka untuk membuka bola kertasnya, kemudian ketua kelompok menginventarisir pertanyaan dan membahasnya secara bersama-sama. Peserta didik pemegang bola kertas yang berisi pertanyaan  menjadi leader untuk membahas pertanyaan tersebut dalam kelompoknya; 
  • Guru berkeliling untuk  meluruskan pertanyaan yang terkumpul dari setiap kelompok; 
  • Jawaban setiap kelompok ditulis dalam lembar kerja yang disediakan guru, kemudian guru mengundi nomor berpikir peserta didik dengan menggunakan dadu, nomor yang muncul harus mempresentasikan  jawaban atas pertanyaan yang terkumpul dari seluruh anggota kelompoknya (point a, b, g, h, dan i : syntax Numbered Head Together); 
  • Guru memberi reward kepada kelompok atau peserta didik yang aktif dan kreatif; 
  • Kemudian, sebelum jam pelajaran berakhir guru melakukan clossing sebagai simpulan melalui tayangan program aplikasi microsoft office power point. 
3.         Kegiatan Akhir
a.    Guru melakukan post test dengan mengajukan beberapa petanyaan terkait dengan materi yang telah dipelajari;
b.    Guru melakukan refleksi dan penguatan terhadap materi yang telah dipelajari dengan mengutif QS Al-Kautsar;
c.     Guru memberitahukan materi yang akan dipelajari minggu selanjutnya (insight).