Guru merupakan figur sentral dalam proses pendidikan yang
berlangsung di sekolah. Karena itu, profesionalisme guru merupakan faktor yang
dominan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sudut pandang nilai
budaya Indonesia (Sunda), guru profesional adalah seorang pendidik yang
memiliki “komara” atau willpower atau
determinasi (strength of will, strength
of mind, self control, dan self
discipline) yang sangat tinggi, sehingga dipatuhi (digugu) perkataannya dan diikuti (ditiru) perilakunya.[1]
Dua kemampuan (ability)
mendasar yang harus dimiliki guru pada era globalisasi dewasa ini. Pertama, kemampuan memanfaatkan
teknologi sebagai media dan sumber pembelajaran. Misalnya penguasaan berbagai
program aplikasi komputer dan internet untuk pembelajaran. Kedua, kemampuan mentransfer nilai-nilai kehidupan (living values) kepada semua peserta
didik. Dalam hal ini guru harus mengembangkan dan mempromosikan soft skill bagi peserta didik, yang
meliputi nilai-nilai : kejujuran, penghargaan, sikap toleran, kemampuan
mendengar, empati, kerja sama, sopan santun dalam berperilaku, disiplin, dan kontrol diri.[2]
Menurut E Mulyasa, tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas
sekedar penyampaian informasi (transfer
of information), tetapi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman, guru
harus memiliki kemampuan untuk memahami peserta didik dengan berbagai
keunikannya, sehingga mampu membantu mengatasi kesulitan peserta didik.[3]
Sedangkan Amir Tengku Ramly mengatakan bahwa guru harus memahami perilaku
belajar peserta didik secara personal. Perilaku belajar peserta didik tersebut
secara garis besar dikelompokkan pada empat kategori, yaitu sanguinis, phlegmatis, melankolis, dan korelis. [4]
Pemahaman terhadap perilaku belajar peserta didik akan memeberikan
kekuatan tersendiri bagi guru dan kesan
yang mendalam bagi peserta didik. Sehingga pembelajaran dirasakan penuh makna (meaningfull
learning) dan menyenangkan.
Pembelajaran yang menyenangkan akan memberikan dampak terhadap perubahan
perilaku peserta didik. Hal ini didasarkan pada teori Skinner yang menyebutkan
bahwa perilaku berubah sesuai dengan konsekuensi-konsekuensi langsung dari
perilaku tersebut. Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku,
sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah perilaku .[5]
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ada empat
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.[6]
Dengan empat kompetensi tersebut, guru diharapkan mampu menjadi perencana (designer), pelaksana (implementer), dan penilai (evaluator) pembelajaran yang aktif,
inovatif, kreatif, dan menyenangkan.[7]
Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi guru (teacher competency) itu sendiri menurut Barlow (1985) dalam
Muhibbinsyah, adalah the ability of a
teacher to responsibly perform his or her duties appropriately. Artinya,
kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara
bertanggung jawab dan layak.[8]
Keberhasilan guru sebagai pengembang sumber daya manusia sangat
dipengaruhi oleh faktor kepribadian guru itu sendiri. Menurut Muhibbinsyah, ada
dua karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru, yaitu
fleksibilitas kognitif guru dan keterbukaan psikologis pribadi guru.[9]
Guru yang memiliki fleksibilitas kognitif pada umumnya ditandai dengan
keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Sedangkan guru yang memiliki keterbukaan
psikologis ditandai dengan kesediaan yang relatif tinggi untuk
mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern antara lain peserta
didik, teman sejawat, dan lingkungan tempatnya bekerja.
Guru yang baik adalah guru yang mampu menjadi inspiring teaching, yaitu guru yang mampu menumbuhkembangkan
inspirasi, gagasan, dan keinginann besar peserta didiknya. Sudah barang tentu
kemampuan ini tidak datang dengan sendirinya, guru dituntut untuk menyisihkan
waktu dan dana bagi pengembangan kompetensi keguruannya. Berbagai upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas profesionalisme guru, diantaranya
adalah dengan mengikuti program penataran atau kursus-kursus (in-service training), pengembangan
secara mandiri (self development),
kegiatan-kegiatan ilmiah, program pendekatan terapan, program diversifikasi
keaktaan, dan pendidikan lanjutan.[10]
Namun harus diingat bahwa keberhasilan upaya pengembangan kompetensi guru
tersebut sangat tergantung pada sejauh mana jiwa dan semangat guru untuk
mengembangkan diri (self propelling
growth).
Guru yang aktif, kreatif, dan penuh inisiatif (gourmet omnivore) dalam merespons terhadap lingkungan sosial dan
fisik yang mengelilinginya cenderung memiliki konsep diri (self concept) yang positif dibandingkan dengan guru yang pasif (passive consumer) dan ragu atau segan (reticent consumer). Guru yang memiliki
konsep diri positif akan mempunyai integritas diri (self integrated) yang tinggi, sehingga memiliki dampak yang positif
terhadap aktivitas pembelajaran, baik menyangkut konten akademik maupun
keterampilan sosial.[11]
Dalam psikologi, istilah self memiliki dua arti, yaitu
sebagai objek dan subjek. Sebagai objek, self memiliki makna sikap dan
prasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Sedangkan sebagai subjek, self memiliki
makna suatu keseluruhan psikologis yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian
diri[12].
Adapun dasar atau komponen self terdiri dari material self, social self,
spiritual self, dan pure ego. Karena itu, Muhibbinsyah
mendefinisikan konsep diri (self-concept) sebagai totalitas sikap dan
persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri.[13]
Menurut Rogers, self concepf seseorang akan berpengaruh
terhadap cara-cara orang tersebut bertingkah laku. Karena itu, untuk mengubah
perilaku seseorang harus dimulai dari upaya mengubah konsepsi dia tentang
dirinya. Sedangkan Symond membatasi pemahaman tentang diri (self) pada
empat aspek, yaitu; (1) Bagaimana orang mengamati dirinya sendiri; (2) Bagaimana
orang berpikir tentang dirinya sendiri; (3) Bagaimana orang menilai dirinya
sendiri; dan (4) Bagaimana orang berusaha dengan berbagai cara untuk
menyempurnakan dan mempertahankan diri.[14]
Melihat jabatan dan kewajibannya, guru PAI merupakan manusia dewasa
yang memiliki tanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik
dalam mencapai kedewasaannya. Karena
itu, konsep diri guru PAI harus mencerminkan pribadi manusia dewasa yang patut
digugu dan ditiru oleh peserta didik. Menurut Abdullah Munir, guru yang ideal
harus “tetap lembut” dan “selalu brilian”. Kelembutan merupakan cermin dari
cinta dan kasih sayang, sedangkan brilian merupakan cermin dari kreativitas,
profesionalisme, dan progresivitas. Adapun kata “tetap” dan “selalu”
menggambarkan sikap istiqamah yang akan melahirkan harmoni dan totalitas
yang luar biasa.[15] Dalam era globalisasi yang ditandai dengan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, guru PAI harus memperkuat atau
menata ulang konsep dirinya. Apalagi dunia pendidikan yang digelutinya
merupakan dunia yang dinamis dan membutuhkan update hal-hal baru secara
terus menerus.
Untuk mengantisipasi berbagai fenomena penyimpangan perilaku
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dan mensiasati keterbatasan alokasi
jam pelajaran agama di sekolah, guru PAI dituntut untuk membekali diri dengan
lima kompetensi. Empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional yang termaktub dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen. Sedangkan satu kompetensi lagi, yaitu kompetensi “kepemimpinan”
terdapat dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 16 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah.
Berdasarkan Permenag No. 16 Tahun 2005 tersebut, dengan kompetensi
kepemimpinan yang dimilikinya, guru PAI diharapkan : (1) Mampu membuat
perencanaan pembudayaan pengamalan ajaran agama dan perilaku akhlak mulia pada
komunitas sekolah sebagai bagian dari proses pembelajaran agama; (2) Mampu
mengorganisasikan potensi unsur sekolah secara sistematis untuk mendukung
pembudayaan pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah; (3) Mampu menjadi
innovator, motivator, fasilitator, pembimbing dan konselor dalam pembudayaan
pengamalan ajaran agama pada komunitas sekolah; dan (4) Mampu menjaga,
mengendalikan, dan mengarahkan pembudayaan pengamalan ajaran agama pada
komunitas sekolah dengan menjaga keharmonisan hubungan antar pemeluk agama
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).[16]
Penjabaran kompetensi kepemimpinan sebagaimana tertuang dalam PMA
No. 16 Tahun 2010, mendorong guru PAI untuk menjadi pemimpin (leader) di
sekolah, baik secara formal maupun informal. Guru PAI harus mampu
membuat program pengembangan pendidikan agama dan menggerakkan seluruh potensi
sekolah untuk mendukung program tersebut dengan tetap memperhatikan keragaman
hidup beragama (tasamuh/toleransi). Sehingga tercipta sebuah lingkungan
sekolah berbudaya agama (religious culture) yang dapat menunjang
keberhasilan pembelajaran agama di sekolah.
Kompetensi kepemimpinan yang harus dimiliki oleh guru PAI akan
efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan, jika guru PAI membekali diri
dengan kompetensi kepribadian yang memadai.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No, 74 Tahun 2008 tentang Guru,
kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru sekurang-kurangnya
mencakup kepribadian yang (a) beriman dan bertakwa, (b) berakhlak mulia, (c)
arif dan bijaksana, (d) demokratis, (e) mantap, (e) berwibawa, (f) stabil, (g)
dewasa, (h) jujur, (i) sportif, (j) menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, (k) secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri, dan (l) mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.[17]
Jika melihat rentang usia peserta didik jenjang SMP, kepribadian guru
PAI sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran agama Islam dan
pembentukan pribadi peserta didik. Hal ini didasari dengan asumsi bahwa pada fase ini
peserta didik akan memasuki masa puber yang ditandai
dengan kematangan alat-alat reproduksi.
Kematangan alat-alat reproduksi tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan
sikap dan perilaku peserta didik. Di samping itu,
kondisi sosial pun
sangat berpengaruh
terhadap perubahan sikap dan perilaku peserta didik. Jika mereka mendapatkan
respon positif dari lingkungan sosialnya, baik dari orang tua, kakak, adik,
guru, maupun teman-temannya, maka kondisi sosial tersebut sangat dominan dalam
membentuk sikap dan perilakunya. Namun sebaliknya, jika respon dari lingkungan
sosialnya negatif, maka perubahan-perubahan fisik akan berdampak sangat besar terhadap perkembangan
psikologisnya.[18] Fase ini sering juga disebut sebagai masa
panca roba dan pencarian jati diri (nilai). Karena itu, komunikasi edukatif antara peserta
didik, orang tua, guru, dan teman-teman sebayanya memegang peran penting dalam
pembentukan sikap dan perilaku mereka.
Menurut Amir Tengku Ramly, guru akan mampu mengembangkan
kepribadian menjadi lebih baik, jika dia mau mengubah paradigma dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya, dari to have menjadi to be
atau dari teaching menjadi learning.[19]
Paradigma to have (memiliki) merupakan sebuah gagasan atau pola pikir
seseorang yang cenderung dan mengutamakan kebutuhan materi. Sedangkan paradigm to
be (menjadi) merupakan gagasan atau pola pikir yang cenderung pada nilai-nilai
non materi. Kemudian perubahan kata dari teaching menjadi learning
sungguh sangat dalam maknanya. Dengan menggunakan istilah learning, guru
memiliki kesempatan lebih untuk memberdayakan diri dan lingkungan belajarnya. Learning
itu sendiri dapat diartikan sebagai proses perbaikan diri secara terus menerus (countinous
improvement) dari suatu individu. Sehingga dengan paradigma ini guru akan
terbuka terhadap masukan baru, mencari solusi terbaik dari suatu permasalahan,
memiliki mindset colaboration, belajar dari kesalahan, siap menghadapi
resiko, mempunyai daya respon yang cukup besar, dorongan untuk saling memiliki,
terbuka terhadap perubahan, dan visioner.
[1]Dodi
Nandika, Pendidikan di Tengah Perubahan,
(Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2007), cet. ke-1, hlm. 62
[2]Deni Koswara dan Halimah, Seluk Beluk Profesi Guru, (Bandung : Pribumi Mekar, 2008), cet.
ke-1, hlm 135.
[3]E
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional
Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2011), cet. ke-10, hlm. 21.
[4]Amir
Tengku Ramly, Menjadi Guru Idola Mengajar
dari Kedalaman Cinta, (Bekasi : Pustaka Inti, 2007), cet. ke-3, hlm. 68
[5]Trianto,
Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta : Prenada
Media Group, 2010), cet. ke-2, hlm. 39-40
[6]Undang-Undang
RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, pasal 8
[7]E
Mulyasa, Menjadi , hlm. 14.
[8]Muhibbinsyah,
Psikologi , hlm. 228.
[9]Ibid.,
hlm. 225-228
[10]Amir
Tengku Ramly, Menjadi , hlm. 71-75.
[11]Bruce
Joyce, et.al., Models of Teaching,
terj. Ahmad Fawaid dan Ateila, Model-Model
Pengajaran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), cet. ke-2, hlm. 388-397.
[12]Sumadi
Suryabrata, Psikologi, hlm. 248
[13]Muhibbinsyah,
Psikologi Belajar, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), ed. Revisi, hlm. 21
[14]Sumadi
Suryabrata, Psikologi, hlm. 248-250
[15]Abdullah
Munir, Spiritual Teaching : Agar Guru Semakin Mencintai Pekerjaan dan Anak Didiknya,
(Yogyakarta : PT Pustaka Insan Madani, 2006), cet. ke-1, hlm. 121.
[16]PMA
No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Pendidikan Agama pada Sekolah
[17]PP
No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, pasal
3 ayat 5
[18]Elizabeth
B Hurlock, Development Psychology A Kife-Span Approach, terj.
Istiwidayanti & Soedjarwo, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 191-192.
[19]Amir
Tengku Ramly, Menjadi Guru Kaya : Melalui Perubahan Paradigma To Be Quadran,
(Bekasi : Pustaka Inti, 2005), cet. ke-2, hlm. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar